Pandangan Emile Durkheim Mengenai
Hukum sebagai Cerminan Solidaritas
Salah satu ahli yang paling dalam memahami teori-teori tentang
masyarakat adalah Emile Durkheim. Ia adalah seorang intelektual yang tidak
dapat dilepaskan dalam konteks sosial kultural yang melingkupinya. Penekanannya
dilakukan pada sains dan reformasi sosial, maka ia dipandang menempati posisi
penting dalam perkembangan sosiolog, namun setiap perubahan yang terjadi di
masyarakat bukan hanya menjadi kajian sosiologi saja, tetapi menjadi perubahan
ilmu lainnya.
Kerangkan teorinya, lebih mengutamakan arti penting masyarakat
struktur, interaksi (hubungan timbal balik) dan institusi sosial dalam memahami
pemikiran dan perilaku manusia. Ia ingin melihat hampir seluruh perubahan utama
manusia yaitu meliputi persoalan hukum, moralitas, profesi, keluarga, ilmu pengetahuan,
seni dan juga agama, dengan menggunakan sudut pandang sosial (Hujair Sanaky
2005).
Dalam pemikiran Durkheim mengenai solidaritas sosial dalam karyanya
The Division Of Labour yaitu secara Mekanis dan Organis. Kedua
terminologi tersebut perlu dipahami dalam kerangka-kerangka teori Dukheim
mengenai masyarakat. Bagi Durkheim, solidaritas banyak dipengaruhi oleh fakta
sosial itu memperlihatkan adanya berbagai cara dan usaha manusia untuk
membangun suatu komunitas, atau upaya yang disebutnya masyarakat.[1]
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia kata “Solidaritas” berasal
dari kata “solider” yang artinya, sifat satu rasa (senasib), perasaan setia
kawan antara sesame anggota sangat diperlukan.
Menurut Durkheim, terkait dengan hukum, dalam masyarakat terdapat
dua jenis solidaritas, yaitu solidaritas mekanis dan solidaritas organis.
Solidaritas mekanis dapat ditemukan ekspresinya dalam pelanggaran kaidah hukum
yang bersifat represif. Solidaritas ini untuk menaggulangi ancaman-ancaman dan
pelanggaran-pelanggaran terhadap apa yang disebut kesadaran nurani kolektif.
Dalam masyarakat yang homogen dan belum mengenal diferensiasi yang tinggi itu
setiap perbuatan jahat dianggap menciderai nurani kolektif masyarakat, dan
untuk mereaksi perbuatan semacam itu diperlukan pemindanaan, karena hanya
dengan reaksi pembalasan yang spontan demikian itu sajalah solidaritas sosial
akan dapat dilindungi dan dilestarikan.
Sementara itu, dengan perkembangan kerja yang semakin cepat,
individu-indivudu tidak akan selamanya sama, sebab pekerjaan mereka mengikuti
fungsi spesialis. Akan tetapi, perasaan solidaritas mengikuti pembagian kerja,
yang membawa kepada posisi saling melengkapi. Hal inilah yang menyebabkan
kegiatan bersama sebagai sumber perasaan solidaritas dari macam-macam peradaban
tertentu. Sebagai pengganti saling bertentangan dan saling mengasingkan satu
sama lainnya adalah saling melengkapi sehingga pembagian kerja menentukan bentuk
kontrak moral baru antara individu. Durkheim menamakan ini dengan solidaritas
organis.[2]
Tipe Solidaritas Versi Durkheim[3]
No.
|
Mekanis
|
Organis
|
1.
|
Pembagian Kerja Rendah (Homogen)
|
Pembagian Kerja Tinggi (heterogen)
|
2.
|
Kesadaran Kolektif Kuat
|
Kesadaran Kolektif Lemah
|
3.
|
Hukum Represif Sangat Dominan
|
Hukum Restif Dominan
|
4.
|
Individualitas Rendah
|
Individualitas Tinggi
|
5.
|
Konsensus Terhadap Pola Normatif
|
Konsensus Pada Nilai Abstrak
|
6.
|
Komunitas Terlibat dalam Menghukum Seorang yang Melakukan
Pengyimpangan
|
Badan-Badan Kontrol Sosial yang Melakukan Penghukuman
|
7.
|
Saling Ketergantungan Tinggi
|
Saling Ketergantungan Rendah
|
8.
|
Bersifat Primitif dan Pedesaan
|
Bersifat
Industri dan Perkotaan
|
Dari teori Emile Durkheim mengenai solidaritas masyarakat hukum
yang telah dijelaskan, saya menemukan beberapa contoh kasus solidaritas dalam
masyarakat yang dapat dikaji sebagai
contoh penerapan dari teori Durkheim tersebut.
Kasus Pertama
Pada malam tahun baru 2016, di Desaku yang penduduknya masih
homogen sehingga rasa kekeluargaannya atau solidaritasnya sangat erat, yaitu di Desa Gunungkembar
digemparkan dengan kejadian hilangnya seorang gadis perempuan yang bernama
Anisa, ia adalah mantan TKW yang baru beberapa minggu pulang ke kampung halamanya.
Pada malam tahun baru itu ia meninggalkan rumah di waktu tengah malam tanpa
seizin orang tuanya, kebetulan ketika ia meninggalkan rumah keadaan sedang mati
lampu. Ketika orang tua gadis tersebut mengetahui bahwasannya anaknya tidak
sedang berada di dalam rumah, ia kebingungan dan memanggil-manggil anak
tunggalnya itu, tak seorangpun tetangga yang mengetahuinya, bahkan ketika
ayahnya menghubunginya lewat handphone ia tidak menjawab sama sekali. Setelah
keesokan harinya gadis itu tetap belum pulang, orang tuanya begitu khawatir
sehingga berita tersebut terdengar sampai seantero dusun kami. Hingga akhirnya
genap lebih dari 2 hari 2 malam ayahnya menghubungi kantor polisi dan
melaporkan kronologi tersebut kepada polisi. Selain itu, pemuda daerah sekitar
kami pun juga telah gempar mengetahui dan berusaha mencari kabar tentang
keberadaan gadis itu, bahkan setiap malam para pemuda dibagi tugas untuk
berjaga-jaga dibeberapa tempat perbatasan desa kami. Karena pemuda desa kami
itu terkenal dengan sifat atau rasa solidaritas yang amat tinggi, ketika ada
pelanggaran bukan polisi dulu yang mengetahui akan tetapi masyarakat dan
pemudalah yang lebih mengetahui. Hingga akhirnya genap di malam ke empat setelah
malam tahun baru gadis itu diantar pulang oleh seorang pria yang identitasnya
belum dikenal karena berasal dari luar kota kami. Para pemuda yang berjaga di
perbatasan desa lantas mengetahui kepulangan gadis itu, rasa geram akan
tindakanya membuatnya segera menggiring dengan sepeda motor hingga ke depan
pintu rumah gadis itu. Para pemuda yang berjaga di depan rumah sebelumnya sudah
mengetahui dari pesan pendek yang disampaikan oleh temannya. Tak lama kemudian
polisi dan ketua dusun pun datang, akhirnya pemuda yang membawa Anisa pergi, di
sidang di dalam rumah gadis itu bersama dengan beberapa pemuda dusun yang
mewakilinya, rasa takut sangat terlihat dari raut muka gadis itu, ia menangis
sambil menutupi wajah malunya. Beberapa pertannyaan dilontarkan dan beberapa
jawaban yang tidak logis pun diucapkan oleh pemuda sehingga membuat beberapa
orang yang berada di dalam ruang sidang merasa geram dan marah. Setelah diusut
ternyata pemuda itu ia kenal dari media sosial selama ia berada di
luarnegeri, dan ia telah membawa seorang
gadis dengan tujuan yang tidak jelas sampai menginap beberapa malam tanpa
seizin orang tuanya. Akhirnya pemuda desa kami sangat kesal dengan perbuatan
pemuda itu, hingga akhirnya suasana sangat memanas dan adu jotos pun terjadi,
jumlah polisi yang tidak sebanding dengan jumlah pemuda, tidak bisa mengehentikan
kelakukan anarkis dari pemuda tersebut. Malahan ada seorang polisi yang
meleraikan adu jotos ikut terjotos pula sampai dilarikan kerumah sakit karena
hidungnya berdarah. Tubuh pemuda itu dipenuhi dengan luka lebam hingga ia jatuh
pingsan dan kemudian di amankan ke kantor polisi.
Dari contoh kasus
di atas, apabila dikaitkan dengan cerminan solidaritas Emile Durkheim maka termasuk
kedalam Solidaritas Mekanis, karena ciri-ciri dari masyarakat yang ada di dalam
kasus pertama sama dengan yang disebutkan di dalam Solidaritas Mekanis. Selain
itu dalam menyikapi hukum di dalam masyarakat juga menerapkan hukuman yang
bersifat represif.
Kasus Kedua
Untuk kasus kedua ini, tempatnya masih sama dengan kasus yang
pertama, yaitu di sebuah pedesaan di mana masyarakatnya masih homogen dan amat kental rasa solidaritas dan
kekeluargaannya. Tetapi kali ini kasusnya mengenai perselingkuhan yang
dilakukan oleh A dan B yang telah
mempunyai suami dan istri. Kelakuan kudua orang ini diketahui oleh warga,
tetapi kali ini tidak ada tindakan represif dari warga setempat, melainkan ada
kesepakatan diantaranya, sehingga ia tidak dihajar oleh masa dan cukup di denda
semen sebanyak 50 karung, atas perbuatannya yang tidak beradap tersebut.
Dari contoh kasus ke dua ini sangat bertentangan dengan ciri teori
cerminan solidaritas menurut Emile Durkheim, bahwasanya telah di jelaskan di
atas masyarakat pada kasus ke dua ini bisa digolongkan ke dalam tipe
solidaritas yang mekanis, tetapi pada kasusnya masyarakat yang cerminan
solidaritasnya mekanis, dalam penerapan hukuman bersifat represif, tetapi dalam
kasus ini penerapan hukumannya berupa restitutif, di mana restitutif itu
seharusnya diterapkan pada masyarakat perkotaan, yang masyarakatnya heterogen
menurut teori ini.
Jadi yang dapat saya simpulkan menurut teori ini, bahwasannya
hukuman dari pelanggaran sosial itu tidak selalu terjadi seperti teorinya
Emile, karena hukuman biasanya diterapkan, juga melihat situasi dan kondisi
dari masyarakat, walaupun memang kebanyakan pada masyarakat yang homogen
hukumanya bersifat represif dan pada masyarakat yang heterogen hukumanya
bersifat restitutif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar