Selasa, 01 Maret 2016

Pandangan Emile Durkheim Mengenai Hukum sebagai Cerminan Solidaritas



Pandangan Emile Durkheim Mengenai Hukum sebagai Cerminan Solidaritas

Salah satu ahli yang paling dalam memahami teori-teori tentang masyarakat adalah Emile Durkheim. Ia adalah seorang intelektual yang tidak dapat dilepaskan dalam konteks sosial kultural yang melingkupinya. Penekanannya dilakukan pada sains dan reformasi sosial, maka ia dipandang menempati posisi penting dalam perkembangan sosiolog, namun setiap perubahan yang terjadi di masyarakat bukan hanya menjadi kajian sosiologi saja, tetapi menjadi perubahan ilmu lainnya.
Kerangkan teorinya, lebih mengutamakan arti penting masyarakat struktur, interaksi (hubungan timbal balik) dan institusi sosial dalam memahami pemikiran dan perilaku manusia. Ia ingin melihat hampir seluruh perubahan utama manusia yaitu meliputi persoalan hukum, moralitas, profesi, keluarga, ilmu pengetahuan, seni dan juga agama, dengan menggunakan sudut pandang sosial (Hujair Sanaky 2005).
Dalam pemikiran Durkheim mengenai solidaritas sosial dalam karyanya The Division Of Labour yaitu secara Mekanis dan Organis. Kedua terminologi tersebut perlu dipahami dalam kerangka-kerangka teori Dukheim mengenai masyarakat. Bagi Durkheim, solidaritas banyak dipengaruhi oleh fakta sosial itu memperlihatkan adanya berbagai cara dan usaha manusia untuk membangun suatu komunitas, atau upaya yang disebutnya masyarakat.[1]
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia kata “Solidaritas” berasal dari kata “solider” yang artinya, sifat satu rasa (senasib), perasaan setia kawan antara sesame anggota sangat diperlukan.
Menurut Durkheim, terkait dengan hukum, dalam masyarakat terdapat dua jenis solidaritas, yaitu solidaritas mekanis dan solidaritas organis. Solidaritas mekanis dapat ditemukan ekspresinya dalam pelanggaran kaidah hukum yang bersifat represif. Solidaritas ini untuk menaggulangi ancaman-ancaman dan pelanggaran-pelanggaran terhadap apa yang disebut kesadaran nurani kolektif. Dalam masyarakat yang homogen dan belum mengenal diferensiasi yang tinggi itu setiap perbuatan jahat dianggap menciderai nurani kolektif masyarakat, dan untuk mereaksi perbuatan semacam itu diperlukan pemindanaan, karena hanya dengan reaksi pembalasan yang spontan demikian itu sajalah solidaritas sosial akan dapat dilindungi dan dilestarikan.
Sementara itu, dengan perkembangan kerja yang semakin cepat, individu-indivudu tidak akan selamanya sama, sebab pekerjaan mereka mengikuti fungsi spesialis. Akan tetapi, perasaan solidaritas mengikuti pembagian kerja, yang membawa kepada posisi saling melengkapi. Hal inilah yang menyebabkan kegiatan bersama sebagai sumber perasaan solidaritas dari macam-macam peradaban tertentu. Sebagai pengganti saling bertentangan dan saling mengasingkan satu sama lainnya adalah saling melengkapi sehingga pembagian kerja menentukan bentuk kontrak moral baru antara individu. Durkheim menamakan ini dengan solidaritas organis.[2]

Tipe Solidaritas Versi Durkheim[3]
No.
Mekanis
Organis
1.
Pembagian Kerja Rendah (Homogen)
Pembagian Kerja Tinggi (heterogen)
2.
Kesadaran Kolektif Kuat
Kesadaran Kolektif Lemah
3.
Hukum Represif Sangat Dominan
Hukum Restif Dominan
4.
Individualitas Rendah
Individualitas Tinggi
5.
Konsensus Terhadap Pola Normatif
Konsensus Pada Nilai Abstrak
6.
Komunitas Terlibat dalam Menghukum Seorang yang Melakukan Pengyimpangan
Badan-Badan Kontrol Sosial yang Melakukan Penghukuman
7.
Saling Ketergantungan Tinggi
Saling Ketergantungan Rendah
8.
Bersifat Primitif dan Pedesaan
Bersifat Industri dan Perkotaan

Dari teori Emile Durkheim mengenai solidaritas masyarakat hukum yang telah dijelaskan, saya menemukan beberapa contoh kasus solidaritas dalam masyarakat yang dapat dikaji sebagai  contoh penerapan dari teori Durkheim tersebut.
Kasus Pertama
Pada malam tahun baru 2016, di Desaku yang penduduknya masih homogen sehingga rasa kekeluargaannya atau solidaritasnya  sangat erat, yaitu di Desa Gunungkembar digemparkan dengan kejadian hilangnya seorang gadis perempuan yang bernama Anisa, ia adalah mantan TKW yang baru beberapa minggu pulang ke kampung halamanya. Pada malam tahun baru itu ia meninggalkan rumah di waktu tengah malam tanpa seizin orang tuanya, kebetulan ketika ia meninggalkan rumah keadaan sedang mati lampu. Ketika orang tua gadis tersebut mengetahui bahwasannya anaknya tidak sedang berada di dalam rumah, ia kebingungan dan memanggil-manggil anak tunggalnya itu, tak seorangpun tetangga yang mengetahuinya, bahkan ketika ayahnya menghubunginya lewat handphone ia tidak menjawab sama sekali. Setelah keesokan harinya gadis itu tetap belum pulang, orang tuanya begitu khawatir sehingga berita tersebut terdengar sampai seantero dusun kami. Hingga akhirnya genap lebih dari 2 hari 2 malam ayahnya menghubungi kantor polisi dan melaporkan kronologi tersebut kepada polisi. Selain itu, pemuda daerah sekitar kami pun juga telah gempar mengetahui dan berusaha mencari kabar tentang keberadaan gadis itu, bahkan setiap malam para pemuda dibagi tugas untuk berjaga-jaga dibeberapa tempat perbatasan desa kami. Karena pemuda desa kami itu terkenal dengan sifat atau rasa solidaritas yang amat tinggi, ketika ada pelanggaran bukan polisi dulu yang mengetahui akan tetapi masyarakat dan pemudalah yang lebih mengetahui. Hingga akhirnya genap di malam ke empat setelah malam tahun baru gadis itu diantar pulang oleh seorang pria yang identitasnya belum dikenal karena berasal dari luar kota kami. Para pemuda yang berjaga di perbatasan desa lantas mengetahui kepulangan gadis itu, rasa geram akan tindakanya membuatnya segera menggiring dengan sepeda motor hingga ke depan pintu rumah gadis itu. Para pemuda yang berjaga di depan rumah sebelumnya sudah mengetahui dari pesan pendek yang disampaikan oleh temannya. Tak lama kemudian polisi dan ketua dusun pun datang, akhirnya pemuda yang membawa Anisa pergi, di sidang di dalam rumah gadis itu bersama dengan beberapa pemuda dusun yang mewakilinya, rasa takut sangat terlihat dari raut muka gadis itu, ia menangis sambil menutupi wajah malunya. Beberapa pertannyaan dilontarkan dan beberapa jawaban yang tidak logis pun diucapkan oleh pemuda sehingga membuat beberapa orang yang berada di dalam ruang sidang merasa geram dan marah. Setelah diusut ternyata pemuda itu ia kenal dari media sosial selama ia berada di luarnegeri,  dan ia telah membawa seorang gadis dengan tujuan yang tidak jelas sampai menginap beberapa malam tanpa seizin orang tuanya. Akhirnya pemuda desa kami sangat kesal dengan perbuatan pemuda itu, hingga akhirnya suasana sangat memanas dan adu jotos pun terjadi, jumlah polisi yang tidak sebanding dengan jumlah pemuda, tidak bisa mengehentikan kelakukan anarkis dari pemuda tersebut. Malahan ada seorang polisi yang meleraikan adu jotos ikut terjotos pula sampai dilarikan kerumah sakit karena hidungnya berdarah. Tubuh pemuda itu dipenuhi dengan luka lebam hingga ia jatuh pingsan dan kemudian di amankan ke kantor polisi.
            Dari contoh kasus di atas, apabila dikaitkan dengan cerminan solidaritas Emile Durkheim maka termasuk kedalam Solidaritas Mekanis, karena ciri-ciri dari masyarakat yang ada di dalam kasus pertama sama dengan yang disebutkan di dalam Solidaritas Mekanis. Selain itu dalam menyikapi hukum di dalam masyarakat juga menerapkan hukuman yang bersifat represif.

Kasus Kedua
Untuk kasus kedua ini, tempatnya masih sama dengan kasus yang pertama, yaitu di sebuah pedesaan di mana masyarakatnya masih homogen  dan  amat kental rasa solidaritas dan kekeluargaannya. Tetapi kali ini kasusnya mengenai perselingkuhan yang dilakukan oleh A dan  B yang telah mempunyai suami dan istri. Kelakuan kudua orang ini diketahui oleh warga, tetapi kali ini tidak ada tindakan represif dari warga setempat, melainkan ada kesepakatan diantaranya, sehingga ia tidak dihajar oleh masa dan cukup di denda semen sebanyak 50 karung, atas perbuatannya yang tidak beradap tersebut.
Dari contoh kasus ke dua ini sangat bertentangan dengan ciri teori cerminan solidaritas menurut Emile Durkheim, bahwasanya telah di jelaskan di atas masyarakat pada kasus ke dua ini bisa digolongkan ke dalam tipe solidaritas yang mekanis, tetapi pada kasusnya masyarakat yang cerminan solidaritasnya mekanis, dalam penerapan hukuman bersifat represif, tetapi dalam kasus ini penerapan hukumannya berupa restitutif, di mana restitutif itu seharusnya diterapkan pada masyarakat perkotaan, yang masyarakatnya heterogen menurut teori ini.
Jadi yang dapat saya simpulkan menurut teori ini, bahwasannya hukuman dari pelanggaran sosial itu tidak selalu terjadi seperti teorinya Emile, karena hukuman biasanya diterapkan, juga melihat situasi dan kondisi dari masyarakat, walaupun memang kebanyakan pada masyarakat yang homogen hukumanya bersifat represif dan pada masyarakat yang heterogen hukumanya bersifat restitutif.






















[1]  Ramdhani Setiawan,Solidaritas-Mekanik-KeOrganik. pdf
[2] Zulfatun Ni’mah, Sosiologi Hukum Sebuah Pengantar,(Yogyakarta:Teras,2012)hal.35
[3] Ibid..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar