Analisis Kasus Yang Berkaitan Dengan
Teori Hukum
Menurut Karl Mark
Oleh:
Robi’atul Afida (1713143020)
Karl Mark merupakan seorang filsuf yang terkenal sebagai pakar ekonomi
politik dan teori kemasyarakatan. Ia lahir
di Jerman pada tahun 1818, dan hidup di era Industrialisasi. Karl Mark
mendapatkan pendidikan sekuler, dan mencapai kehidupan borjuis yang cukup mewah
sebagai seorang pengacara yang cukup berhasil. Karena pada usia 18 tahun ia
telah mempelajari hukum selama setahun di Universitas Born, dan Universitas
Berlin. Sebagai akibat dari pergaulan dari kelompok Hegelian muda, beberapa unsur
dasar teori sosialnya mulai terbentuk. Dan akhirnya ia menggabungkan diri
dengan pengikut Hegel.
Hegel (1770-1831), adalah pemikir Jerman klasik terkemuka yang
mewakili aliran idealism obyektif. Namun dia juga menyelidiki secara cemerlang
hukum Dialektika. Menurut kritik praktis, karena pada hakekatnya bentuknya
idealis sehingga hanya meneliti pemikiran saja bukan dunia material. Titik
pijaknya adalah pemikiran murni sebagai fakta kebenaran yang tak bisa ditolak
dalam memahami realitas. Jadi realitas manusia yang bersejarah itu hanyalah
turunan dari pemikiran murni dan manusia yang berhimpun dan bersejarah itu
tidak berarti di hadapannya.
Dari pandangan Hegel inilah melihat seluruh struktur sebagai
lapisan-lapisan yang penuh dengan kontradiksi dan merupakan proses yang terus
menerus berubah secara dialektis. Masyarakat yang selalu bergerak, sebab
mengandung kekuatan unsur-unsur yang saling bertentangan. Masyarakat yang
terdiri dari berbagai oposisi yang terus berjuang untuk mencapai suatu kedudukan
tertentu.
Dalam masyarakat yang seperti atau dapat dikatakan dalam era
Industrialisa ini Karl Mark membagi masyarakat menjadi dua kelas dengan ciri
yang berbeda. Pertama:
Kaum Borjuis, dengan ciri-ciri:
a.
Jumlahnya
sedikit tetapi menguasai kekayaan yang ada di masyarakat.
b.
Kumpulan
orang-orang yang mempunyai modal.
c.
Memperkerjakan
banyak orang yang hanya mempunyai tenaga.
d.
Menginginkan
bertambahnya aset.
Kaum Proletar
a.
Jumlahnya
banyak tetapi tidak banyak menguasai kekayaan yang ada di masyarakat.
b.
Kumpulan
orang-orang yang hanya mempunyai tenaga.
c.
Diperkerjakan
oleh kaum borjuis.
d.
Menginginkan
sejahtera.
Dalam masyarakat yang semacam ini maka, hukum itu dapat dikatakan
sebagai alat untuk melanggengkan kaum borjuis. Dan dari pertentangan ini maka
posisi hukum memihak kepada kaum borjuis, dengan cara melanggengkan kaum borjuis
dan melemahkan kaum proletar.
Menurut Karl Mark, hukum dan kekuasaan politik itu merupakan sarana
kapitalis yang berkuasa di bidang ekonomi, untuk melanggengkan kegunaan harta
kekayaan sebagai sarana produksi dan sarana eksploitasi. Menurutnya, hukum
bukan saja berlaku sebagai fungsi politik saja, melainkan sebagai fungsi
ekonomi. Karena pokok pemikirannya dalam sosiologi hukum adalah sebagai
berikut:
a.
Hukum
adalah atat yang menyebabkan timbulnya konflik dan perpecahan. Hukum tidak
berfungsi untuk melindungi. Hukum hanya melindungi kelompok-kelompok yang
dominan saja (kaum borjuis).
b.
Hukum
bukanlah alat integrasi tetapi merupakan pendukung ketidaksamaan dan ketidak
seimbangan yang dapat membentuk perpecahan kelas.
c.
Hukum
dan kekuasaan merupakan sarana dari kaum kapitalis yang berkuasa dibidang
ekonomi, untuk melanggengkan kekuasaan.
d.
Hukum
bukanlah model idealis dari moral masyarakat atau setidak-tidanya masyarakat
bukanlah manifestasi normative dari apa yang telah dihukumkan.
Apabila kita kaitkan antara pemikiran hukum Karl Mark ini dengan
beberapa kasus eksploitasi yang pernah terjadi di Indonesia, misalnya Penjajahan
Sumber Daya Air dengan Modus Privatisasi.
Seperti laporan
yang telah ditulis khusus oleh Ketua KPK-N (Komite Penyelamat Kekayaan Negara),
Marwan Batubara. Berita ini disusun khusus dalam sebuah buku yang berjudul
“Menggugat Pengelolaan Sumber Daya Alam, Menuju Negara Berdaulat”.
Selain privatisasi
pada PDAM yang melibatkan pihak asing, kerugian juga terjadi pada produksi Air
Minum Dalam Kemasan (AMDK). Di Indonesia ada 246 AMDK yang beroperasi, 65%
dipasok oleh 2 badan hukum perusahaan asing, yakni Aqua (Danone) dan Ades (Coca
cola company). Sisanya 35% diproduksi oleh 244 perusahaan AMDK lokal.
Aqua merupakan pelopor bisnis AMDK, dan saat ini menjadi produsen
terbesar di Indonesia. Bahkan pangsa pasarnya telah mencapai di berbagai
negara, diantaranya: Malaysia, Fiji, Australia, Timur Tengah dan Afrika. Di
Indonesia Aqua menguasai 80% penjualan AMDK berbentuk galon. Sedangkan untuk
keseluruhan bisnis AMDK di Indonesia, Aqua menguasai 50% pasar. Saat ini Aqua
memiliki 14 pabrik yang tersebar di Jawa, Sumatera, Bali dan Sulawesi.
Di Indonesia, Danone berhasil membeli saham Aqua, dan
secara resmi mengumumkan penyatuan antara kedua perusahaan tersebut. Yang
akhirnya melunucurkan produk berlabel Aqua Danone. Dan Danone kemudian menjadi
pemegang saham mayoritas dengan saham yang lebih unggul dari pada Aqua.
Dalam berbisnis
Aqua-Danone dianggap kerap melanggar prinsip good corporate governance (GCG)
sehingga merugikan masyarakat. Salah satu contoh adalah eksploitasi air di
daerah Kubang Jaya, Babakan Pari, Kabupaten Sukabumi. Mata air di daerah ini
telah dieksploitasi habis-habisan oleh Aqua sejak tahun 1992. Sebelumnya
kawasan ini adalah lahan pertanian, yang kemudian diubah menjadi kawasan
“seperti hutan” yang tidak boleh digarap. Dan seluruh kawasan mata air di
daerah ini dipagari oleh tembok, sehingga tak seorangpun diizinkan untuk masuk
terkecuali ada izin dari pihak Aqua.
Pada awalnya air
yang dieksploitasi merupakan air permukaan. Namun sejak tahun 1994 eksploitasi
jalur air bawah tanah dilakukan dengan menggunakan mesin bor berkekuatan
tinggi. Sejak saat itulah kualitas serta kuantitas air bawah tanah di daerah
ini menjadi menurun drastis. Sehingga untuk mendapatkan air yang cukup
masyarakat harus membayar mahal, dengan menggali kedalaman sumur yang semakin dalam, berbeda dengan
dalamnya sumur ketika belum ada pengeboran yang dilakukan oleh Aqua. Selain itu
kurangnya air yang digunakan untuk pengairan atau irigasi, sehingga para petani
berebut untuk mendapatkan air demi kelangsungan hidup tanamannya. Adapula sawah
yang hanya mengandalkan air hujan saja karena tidak kebagihan air, merugikan bukan hal tersebut.
Hal serupa juga
terjadi di daerah Polanharjo, Klaten, Jawa Tengah. Kecurangan yang dilakukan
akibat dari pengeksploitasian air yang tidak seharusnya dilakukan, sehingga
menimbulkan berbagai permasalahan yang sulit dituntaskan. Kerugian yang
terjadi, baik dari segi alam maupun perekonomian yang dialami masyarakat akibat
hal tersebut. Sehingga memicu reaksi keras dengan menolak keberadaan pabrik
tersebut, pemerintah daerah pun juga ikut geram sehingga ia akan mencabut izin
atas berdirinya pabrik tersebut. Namun, karena apa, pabrik tersebut masih tetap
beroperasi hingga sekarang.
Menggugat
Pemerintah atas privatisasi air yang telah menyebabkan hilangnya jaminan
pelayanan hak dasar rakyat atas air, melanggar HAM, membuat akses mayarakat
terhadap air menjadi mahal, merusak
lingkungan, dan mengganggu kebutuhan pertanian dan kehidupan dasar masyarakat.
Privatisasi PDAM dan bisnis oleh AMDK oleh MNC telah mendatangkan dampak
negatif yang seharusnya menjadi perhatian pemerintah untuk melakukan tindakan korektif. Karena peran
pengelolaan air tidak dapat diserahkan pada swasta yang hanya meletakkan
keuntungan demi memperoleh profit (keuntungan) sebesar-besarnya, tanpa
memperhatikan dampak negatifnya.
Dengan memaksakan pemberlakuan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004
yang tidak terlepas dari kekuatan pemerintah pada kekuatan asing, perilaku KKN
pemegang kekuasaan, dan nafsu menjajah yang diusung para kolonialis dan MNC,
termasuk Aqua-Danone. Maka dapat
dikatakan bahwa hal ini sangat bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 ayat 3: “ Bumi, air dan kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besarnya kemakmuran Rakyat”. Dari Undang-Undang ini maka kita dapat
menyimpulkan bahwasannya tidak diperbolehkan adanya penguasaan sumber daya alam
ditangan Perorangan atau Pihak-pihak tertentu. Dengan kata lain monopoli,
oligopoly, maupun praktek kartel dalam bidang pengelolaan sumber daya alam yang
dianggap bertentangan dengan prinsip Pasal 33 ayat 3 UUD 1945.
Hal ini sangat
bertolak belakang jika dibandingkan dengan keadaan yang telah dilakukan oleh
Aqua-Danone, bahwa ia sebagai pihak perseorangan telah menguasai beberapa Sumber Daya Air yang ada di Indonesia, mengekspoitasi
habis-habisan dan membuat kerugian. Dalam teori Karl Mark hal ini sangat sesuai
apabila Hukum Itu Menjadi Alat Untuk
Melanggengkan Kaum Borjuis dan Melemahkan Kaum Proletar. Aqua-Danone dapat
diidentikkan sebagai Kaum Borjuis karena ia memiliki modal atau uang sehingga
dapat menguasai kekayaan yang ada di masyarakat. Dan masyarakat sekitar dapat
diidentikkan sebagai Kaum Proletar yang tidak mempunyai banyak modal, sehingga
tidak bisa menguasai kekayaan, hanya mempunyai tenaga dan menginginkan
kesejahteraan saja.
Maka Kaum Proletar secara rasional dapat dikatakan bahwa ia sedang
dijajah oleh Kaum Borjuis. Meskipun UU Nomor
7 Tahun 2004 sekarang sudah tidak diberlakukan. Dan air merupakan hak asasi
manusia, karena kebutuhan manusia akan air amatlah penting, sekaligus menjadi
faktor penting pula bagi manusia untuk dapat hidup layak. Namun pada
kenyataannya pemerintah tetap tidak bisa menghentikan aktifitas
pengeksploitasian yang terjadi di kawasan itu. Hal ini dikarenakan kontrak yang
telah di setujui oleh Pemerintah, selama 25 tahun. Setelah itu akan
dikembalikan lagi kepada Pemerintah. Namun demikian supaya tidak terjadi
ketimpangan, harusnya kegiatan tersebut diimbangi dengan meminimalisir bahkan
meniadakan dampak negatif dari kegiatan pengeksploitasian, sehingga tidak ada
yang dirugikan, yaitu masyarakat di daerah itu.
Sumber Rujukan
Zulfatun Ni’mah, Sosiologi Hukum Sebuah
Pengantar,(Yogyakarta:Teras,2012)
http://www.eramuslim.com/berita/laporan-khusus/menggugat-penjajahan-sumberdaya-air-dengan-modus-privatisasi.htm
Tidak ada komentar:
Posting Komentar