Perbandingan
Hukum Antara Orang Kelas Atas dengan Kelas Bawah dalam Stratifikasi Sosial
Secara harfiah
stratifikasi berasal dari bahasa latin stratum yang bermakna tingkatan.
Sehingga stratifikasi sosial adalah perbedaan individu atau kelompok dalam
masyarakat yang menempatkan seseorang pada kelas-kelas sosial yang berbeda-beda
secara hierarki dan memberikan hak serta kewajiban yang berbeda-beda pula
antara individu pada lapisan sosial lainnya.
Pada umumnya
stratifikasi sosial muncul karena adanya sesuatu yang dianggap berharga dalam
masyarakat. Menurut Patirim Sorokin, sistem stratifikasi adalah pembedaan
penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas secara bertingkat, yang
diwujudkan dalam kelas tinggi, kelas sedang, bahkan kelas rendah. Dan itu
merupakan ciri yang tetap dan umum pada masyarakat yang hidup teratur.
Stratifikasi
sosial dapat diperoleh melalui usaha-usaha tertentu misalnnya: Strtifikasi
dalam bidang pendidikan, Stratifikasi dalam bidang pekerjaan, dan Stratifikasi
dalan bidang ekonomi (kelas sosial). Stratifikasi sosial juga dapat diperoleh
secara alami, yaitu melalui: Stratifikasi sosial berdasarkan umur, karena
senioritas, jenis kelamin, sistem kekerabatan, dan keanggotaan dalam kelompok.
Stratifikasi
sosial terdiri dari dua sifat, yaitu terbuka dan tertutup. Stratifikasi sosial
bersifat terbuka merupakan sistem stratifikasi di mana setiap anggota
masyarakat dapat berpindah-pindah dari satu strata atau tingkatan yang satu ke
tingkatan yang lain. Sistem ini terjadi karena: Perbedaan ras dan sistem nilai,
pembagian tugas atau spesialisasi, dan kelangkaan hak dan kewajiban. Sedangkan
stratifikasi tertutup merupakan stratifikasi di mana tiap-tiap anggota
masyarakat tersebut tidak dapat pindah ke strata atau tingkatan sosial yang
lebih tinggi atau lebih rendah.
Di Indonesia
sendiri stratifikasi sosial masih digunakan di beberapa daerah, seperti sistem kasta di Bali, serta
golongan darah biru dan golongan rakyat biasa yang umumnya berlaku di Jawa.
Stratifikasi
sosial yang terjadi dapat mempengaruhi peralakuan hukum, di dalam masyarakat.
Padahal kita semua tahu bahwasannya “semua orang dianggap sama atau setara di
mata hukum”. Ini merupakan Asas Equality Before Law yang telah diadopsi sejak
masa kolonial lewat Burgelijke Wetboek (KUHPerdata) dan Wetboek van Koophandel
voor Indonesie (KUHDagang) pada tanggal 30 April 1847 melalui Stbl. 1847 No.
23.
Asas persamaan
di hadapan hukum merupakan asas di mana terdapat kesetaraan dalam hukum pada
setiap individu tanpa adanya pengucilan. Asas kesamaan di dalam hukum bisa
dijadikan sebagai standar untuk mengonfirmasi kelompok-kelompok marginal juga
kelompok minoritas. Namun karena ketimpangan sumberdaya, baik kekuasaan, modal
maupun informasi, asas tersebut sering didominasi oleh kelompok penguasa,
pemodal sebagai pelindung atau tameng atas aset dan kekuasaan.
Padahal di dalam
Konstitusi dinyatakan tegas bahwasanya adanya kesamaan kedudukan, yaitu dalam
Psal 27 ayat 1 “ Segala warga negara bersama kedudukannya di dalam hukum dan
pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada
kecualinya”.
Karena tujuan
utama dari adanya asas Equality Before Law adalah menegakan keadilan di mana
kesamaan kedudukan berarti hukum sebagai satu entitas tidak membedakan siapapun
yang meminta keadilan kepadanya. Diharapkan dengan adanya asas ini tidak
terjadi suatu diskriminasi dalam supremasi hukum di Indonesia di mana ada suatu
pembeda antara penguasa, si kaya, si miskin, dan rakyat jelata.
Namun pada
kenyataannya, dapat dikatakan bahwa di Indonesia hukum itu tumpul di atas dan
tajam di bawah. Inilah dinamika hukum di Indonesia, yang menang adalah yang
mempunyai kekuasaan, yang mempunyai uang banyak, dan yang mempunyai kekuatan.
Mereka pasti aman dari gangguan hukum walaupun aturan negara dilanggar. Orang
biasa seperti nenek Minah dan teman-temannya itu, yang hanya melakukan tindakan
pencurian kecil atau kejahatan perdata ringan langsung ditangkap dan
dijebloskan ke penjara. Sedangkan seorang pejabat negara yang melakukan korupsi
uang negara milyaran rupiah dapat berkeliaran dengan bebasnya. Oleh karena itu
perlu adanya reformasi hukum yang dilakukan secara komprehensif mulai dari
tingkat pusat sampai pada tingkat pemerintahan paling bawah dengan melakukan
pembaruan dalam sikap, cara pikir, dan berbagai aspek perilaku masyarakat hukum
kita ke arah kondisi yang sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman dan tidak
melupakan aspek kemanusian.
Beberapa kasus
hukum yang banyak disoroti karena dapat dijadikan bukti bahwa di Indonesia
hukum itu tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Diantaranya adalah:
1.
Kasus Nenek
Minah asal Banyumas yang divonis 1,5 bulan penjara. Ini adalah salah satu
bentuk ketidak adilan hukum di Indonesia. Kasus ini bermula dari pencurian 3
buah kakao yang dilakukan oleh nenek Minah. Walaupun semua tindakan pencurian
adalah melanggar hukum, namun jangan lupa bahwa hukum juga mempunyai prinsip
kemanusiaan. Bukan memanfaatkan ketidak tahuan dan keawaman tentang hukum dari
nenek Minah.
2.
Kasus pencurian
sendal jepit yang dilakukan oleh seorang anak berusia 15 tahun yang bernama
AAL, karena yang dicuri adalah sendal jepit milik Brigadir (Pol) Ahmad Rusdi,
AAL harus menghadap jerat pasal 362 KUHP dengan ancaman maksimal tuntutan 5
tahun penjara. Selain itu AAL di persidangan bukan hanya membantah telah
mencuri, tetapi juga mendapat tekanan dan penganiayaan saat pemeriksaan oleh
seorang anggota polisi agar mengaku sebagai pelaku pencurian sandal jepit
berwarna putih kusam, seharga 30 ribu. Kasus ini sangat tidak adil rasanya
tidak sebanding dengan ancaman hukuman lima tahun penjara sementara banyak
koruptor yang dihukum hanya 1,5 tahun
bahkan banyak pula yang masih berkeliaran malah tampil menjadi pemimpin di
negara kita, ironis bukan.
3.
Kasus Pasutri
yang mencuri setandang pisang. Supriono dan Sulastri merupakan pasangan suami
istri, ia divonis Pengadilan Negeri Bojonegoro 3,5 bulan karena telah mencuri
setandang pisang di pekarangan rumah tetangganya saat ia akan pergi mencari
hutangan uang untuk membeli makanan. Kemudian dilaporkan ke kepolisian. Kasus
ini menjadi kontroversi, melihat harga pisang tersebut yang hanya 5000 sehingga
si terdakwa sampai diproses di meja hijau. Miris sekali ketika kita melihat
para koruptor yang kasusnya begitu mudah dilupakan oleh aparat penegak hukum.
Apalagi kasus yang melibatkan mantan ketua DPRD Bojonegoro, walau ditindak
lanjuti tapi para tersangka tidak dikenai penahanan.
4.
Kasus
pencurian dua buah sabun yang dilakuakan oleh kakek yang bernama Sardjo bin
Raswad. Akibatnya ia merasakan dinginnya sel tahanan selama 14 hari dengan tubuh
rentanya ia harus menjalani sidang bolak-balik dari Tegal ke Cirebon untuk
menebus kesalahannya. Di depan jaksa ia mengaku bersalah, dan khilaf serta
menundukkan kepalanya. Karena ingin membelinya ia tidak mempunyai uang,
sehingga ia tidak membayar barang tersebut ke kasir.
Mengingat dari
apa yang telah disampaikan oleh Bu Zulfa dalam mata kuliah sosiologi hukum,
dari kasus di atas dapat kita tarik kesimpulan bahwasannya dalam menetapkan
hukuman seorang hakim hendaklah mengkaji terlebih dahulu suatu masalah yang
menyebabkan seseorang tersebut terjerat kepada kasus pelanggaran hukum
tersebut. Dalam mengkaji suatu kasus maka hakim dapat melihat dari beberapa
cara pandang , diantaranya yaitu cara pandang :
Normatif, Filosofis, dan Sosiologis.
Dalam aspek normatif
yaitu mengkaji suatu masalah dengan mengarah atau kembali ke Undang-Undang
dalam penerapan sanksinya. Dalam aspek Filosofis, yaitu dalam menetapkan
hukuman maka harus mengkaji berdasarkan nilai yang bersifat abstrak yang ada di
dalam masyarakat seperti keadilan, belas kasihan dalan lain-lain. Sedangkan
dalam aspek Sosiologis, melihat dan menyelidiki mengapa pencurian itu terjadi
atau kasus tersebut diselidiki sebabnya dengan mempertimbangkan aspek sosial
dalam masyarakat.
Sehingga dapat
diperoleh ketika menegakkan hukum jangan hanya menegakkan dengan cara pandang
Normatif saja, melainkan juga harus
melalui cara pandang Filosofis dan Sosiologis. Supaya hukum tidak terkesan
remeh atau murah di hadapan orang yang berkuasa.